Kebangkitan Yang Semu

“Bangkitlah negriku harapan itu masih ada

Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang …..”

      Sepenggal lirik dari group nasyid Shotul Harokah di atas kiranya dapat dijadikan harapan untuk negara kita tercinta. Indonesia memiliki banyak  potensi untuk maju. Sumber daya alam yang melimpah seharusnya mampu menjadikan negri zamrud khatulistiwa ini menjadi produsen dunia, bukannya malah cuma bisa menikmati hasil karya negara lain. Kelaparan di atas lumbung padi sendiri. Begitulah pernyataan yang pantas untuk menggambarkan rakyat Indonesia. Beginikah mental bangsa kita? Hanya bisa menjadi seorang pekerja, bukan yang mempekerjakan. Hanya bisa menkonsumsi, bukan memproduksi. 

      Tepatnya seratus lima tahun yang lalu berdirilah suatu organisasi pergerakan yang berasaskan nasional, Budi Utomo. Ketika itu para pakar pendidikan mulai memikirkan nasib Indonesia kelak, apakah akan terus bertahan dengan kuasa kolonialisme ataukah segera keluar dari tekanan sang Menir Belanda. Tiga setengah abad adalah waktu yang tidak sebentar dalam merasakan penderitaan penjajahan. Indonesia waktu itu benar-benar membutuhkan perubahan. Entah secara besar-besaran atau hanya perubahan kecil. Yang terpenting perubahan menuju perbaikan. Tanggal 20 Mei yang dijadikan pemerintah sebagai hari  kebangkitan nasional diharapkan bisa membangkitkan bangsa dan negara dari keterpurukan.

      Bangkit berarti bangun setelah jatuh atau mungkin bangun setelah tidur yang cukup lama. Untuk para bangsa yang menginginkan sebuah kemerdekaan sejati, hari kebangkitan nasional kali ini seharusnya menjadi hari untuk merenung sejenak tentang arti sebuah kejayaan. Kejayaan tidak akan pernah diperoleh hanya dengan bersantai-santai ria tanpa adanya susah payah. Ingatlah bahwa nahkoda yang handal dihasilkan dari terjangan ombak laut yang besar. Pilot yang lihai juga terbentuk dari perlawanan angin yang deras. Semuanya butuh ujian dan cobaan.

            Bung Karno pernah dengan lantang mengemukakan sebuah pernyataan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya sendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya. Ada banyak pengertian mengenai konsep pahlawan dalam hal ini. Pahlawan pada zaman dahulu atau pahlawan di zaman sekarang. Kalau menilik dari pahlawan yang dihubungkan dengan sejarah, tentunya mereka adalah yang memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan pada masa kolonialisme Belanda maupun penjajahan Jepang. Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana cara menghargai mereka? Jawabannya cukup simpel. Ingat-ingat kembali saja jasa para pahlawan. Renungilah betapa beratnya memperjuangkan Indonesia menuju negara yang adil dan sejahtera. Nyawa telah mereka gadaikan demi membeli sebuah kemerdekaan. Sekali lagi, semuanya kembali kepada diri kita masing-masing.  Perbaikan berada di tangan kita, bukan hanya pemerintah.

Sebagai generasi penerus yang tengah merindukan semangat kebangkitan, hendaknya –dan memang sudah seharusnya– kita mempelajari sejarah para pendahulu sebagai upaya untuk kembali merestorasi semangat kebangkitan nasional di masa sekarang ataupun di masa-masa yang akan datang. Sehingga kebangkitan yang akan kita lakukan bukanlah kebangkitan yang semu, tapi bangkit sebangkit-bangkitnya. Kebangkitan yang nyata.

“Bangkitlah negriku harapan itu masih ada

Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang …..”

      Sepenggal lirik dari group nasyid Shotul Harokah di atas kiranya dapat dijadikan harapan untuk negara kita tercinta. Indonesia memiliki banyak  potensi untuk maju. Sumber daya alam yang melimpah seharusnya mampu menjadikan negri zamrud khatulistiwa ini menjadi produsen dunia, bukannya malah cuma bisa menikmati hasil karya negara lain. Kelaparan di atas lumbung padi sendiri. Begitulah pernyataan yang pantas untuk menggambarkan rakyat Indonesia. Beginikah mental bangsa kita? Hanya bisa menjadi seorang pekerja, bukan yang mempekerjakan. Hanya bisa menkonsumsi, bukan memproduksi. 

      Tepatnya seratus lima tahun yang lalu berdirilah suatu organisasi pergerakan yang berasaskan nasional, Budi Utomo. Ketika itu para pakar pendidikan mulai memikirkan nasib Indonesia kelak, apakah akan terus bertahan dengan kuasa kolonialisme ataukah segera keluar dari tekanan sang Menir Belanda. Tiga setengah abad adalah waktu yang tidak sebentar dalam merasakan penderitaan penjajahan. Indonesia waktu itu benar-benar membutuhkan perubahan. Entah secara besar-besaran atau hanya perubahan kecil. Yang terpenting perubahan menuju perbaikan. Tanggal 20 Mei yang dijadikan pemerintah sebagai hari  kebangkitan nasional diharapkan bisa membangkitkan bangsa dan negara dari keterpurukan.

      Bangkit berarti bangun setelah jatuh atau mungkin bangun setelah tidur yang cukup lama. Untuk para bangsa yang menginginkan sebuah kemerdekaan sejati, hari kebangkitan nasional kali ini seharusnya menjadi hari untuk merenung sejenak tentang arti sebuah kejayaan. Kejayaan tidak akan pernah diperoleh hanya dengan bersantai-santai ria tanpa adanya susah payah. Ingatlah bahwa nahkoda yang handal dihasilkan dari terjangan ombak laut yang besar. Pilot yang lihai juga terbentuk dari perlawanan angin yang deras. Semuanya butuh ujian dan cobaan.

            Bung Karno pernah dengan lantang mengemukakan sebuah pernyataan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya sendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya. Ada banyak pengertian mengenai konsep pahlawan dalam hal ini. Pahlawan pada zaman dahulu atau pahlawan di zaman sekarang. Kalau menilik dari pahlawan yang dihubungkan dengan sejarah, tentunya mereka adalah yang memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan pada masa kolonialisme Belanda maupun penjajahan Jepang. Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana cara menghargai mereka? Jawabannya cukup simpel. Ingat-ingat kembali saja jasa para pahlawan. Renungilah betapa beratnya memperjuangkan Indonesia menuju negara yang adil dan sejahtera. Nyawa telah mereka gadaikan demi membeli sebuah kemerdekaan. Sekali lagi, semuanya kembali kepada diri kita masing-masing.  Perbaikan berada di tangan kita, bukan hanya pemerintah.

Sebagai generasi penerus yang tengah merindukan semangat kebangkitan, hendaknya –dan memang sudah seharusnya– kita mempelajari sejarah para pendahulu sebagai upaya untuk kembali merestorasi semangat kebangkitan nasional di masa sekarang ataupun di masa-masa yang akan datang. Sehingga kebangkitan yang akan kita lakukan bukanlah kebangkitan yang semu, tapi bangkit sebangkit-bangkitnya. Kebangkitan yang nyata.

Pos ini dipublikasikan di Departemen Hubungan Masyarakat dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar